Memandang Musik
Sampai saat ini di sejumlah pondok pesantren masih berpegang bahwa musik adalah alatul malahi, alat yang melupakan. Karena itulah beberapa pondok pesantren masih tidak membolehkan musik, itu adalah bentuk kehati-hatian.
Bahwa, kitab-kitab pesantren untuk doktrin pertama adakah kitab Safinah, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Sulam Taufiq. Kitab-kitab tersebut sangat baik untuk anak-anak santri pemula. Di dalam kitab itu ada penilaian terhadap musik sebagai alatul malahi yang sangat ketat.
Santri dididik agar semua waktunya tidak habis untuk bermain gitar, bermain suling, dan alat musik lainya. Jangan sampai melupakan pelajarannya, melupakan shalat apalagi, itu bahaya. Bisa dimaklumi jikalau hanya sewaktu-waktu belajar musik.
Di dalam agama Islam, musik yang menjadikan orang lupa pada kewajiban shalat, dzikir, diharamkan oleh para fuqaha (ahli fiqih), tetapi kalau musik menjadikan hati seseorang lembut, bisa melupakan dendam, takabur, benci, hasud, permusuhan, fitnah, bisa hilang ketika seseorang mendengarkan musik, itu sangat terpuji.
Seorang waliyullah besar, sufi besar Al-Imam Dzu Nun Al-Mishri berkata, "Musik itu suara kebenaran, suara hak, yang palsu itu dari mulut". Bohong itu mulut, musik tidak ada yang bohong. Suara kebenaran yang bisa menggugah hati manusia menuju Allah, menuju kebenaran.
Makanya, di beberapa jalan sufi, musik mempunyai peran yang sangat penting di dalam memperhalus, mempertajam, mencerdaskan emosi, dzauq, intuisi, untuk mempercepat menuju ma’rifat, mendakatkan diri kepada Allah.
Ketahuilah bahwa setiap tanggal 9 Maret ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional, mengacu kepada tanggal kelahiran pengarang lagu Indonesia Raya, WR Supratman.
Sedang dalam kajian ilmu Fiqih, berikut sanduran dari tulisan Kiai M Sholeh, Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jombang:
Bahwa hukum alat musik seperti gitar, seruling, mandolin, drum, dan alat orkes lainnya. Alat musik sebagaimana di atas memang sudah lama menjadi perdebatan antar ulama.
Bila disederhanakan hukum alat musik sebagaimana dimaksud di atas, maka ada dua.
1. Haram
Alhawi Alkabir secara jelas menyebutkan bahwa alat musik sebagaimana di atas adalah haram.
فاماالحرام فالعود والطنبور والمعزفة والطبل والمزمار وما الهى بصوت مطرب
Ada pandangan menarik dari Al Ghozali dalam Ihya', bahwa keharaman alat musik di atas itu karena faktor eks (a'ridli) bukan karena entitas alat musik.
Di antara yang melatarbelakangi keharaman alat musik di atas adalah bahwa alat musik tersebut menjadi ciri khas budaya para peminum miras dan waria.
العارض الثاني في الالة بان تكون من شعار اهل الشرب اوالمخنثين وهي المزامير والاوتار وطبل الكوبة فهذه ثلاثة انواع ممنوعة وما عدا ذلك يبقى على أصل الاباحة
Yang lebih menarik lagi justru Azzabidi dalam Ithafussadat Al-Muttaqin (Syarah ihya') juz 6 halaman 502, beliau berkomentar bahwa secara qiyas alat musik di atas adalah halal seandainya tidak ada titah hadits dan tidak menjadi bagian budaya para peminum miras.
وقد ذكر المصنف ان القياس الحل لولا ورود الاخبار وكونها صارت من شعار اهل الشرب
Memang menurut salah satu hadits Abi Umamah, Nabi saw bersabda:
ان الله عز وجل بعثني رحمة وهدى للعالمين وامرني ان امحق المزامير والكيارات والمعازف
2. Mubah
Dalam sebuah syi'ir sebagian ulama dinyatakan bahwa Imam Ibnu Chazmin membolehkan alat musik di atas, meski oleh sebagian ulama tersebut pendapat Ibnu Chazmin tidak boleh diikuti.
فاجزم على التحريم أي جزم
والرأي ان لا تتبع ابن حزم
فقد ابيحت عنده الاوتار
والعود والطنبور والمزمار
Azzabidi juga mengemukakan, ulama yang membolehkan alat musik di atas itu tidak mengakui kesahihan hadits yang menjelaskan keharaman hadits dan tidak menerima alasan bahwa alat musik itu menjadi ciri budaya peminum miras.
والمبيحون يمنعون صحة الاخبار ولا يسلمون ما ذكره من انها شعار اهل الشرب
Sehingga nalar fiqihnya:
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum berputar bersama illat ada dan tidaknya
Jika hukum haram itu berlandaskan hadits dan alasan faktor eks, sedang keduanya tidak wujud, maka hukum haram itu dengan sendirinya gugur, itu barangkali yg menjadi alasan argumentatif ulama barisan kedua ini.
Alfiqhul Islami menambahkan, bahwa sekelompok sahabat, tabi'in, dan Imam Mujtahid ada yang membolehkan.
وذهبت طائفة من الصحابة والتابعين ومن الائمة المجتهدين الى جوازه
Risalah ini hanyalah khazanah bagaimana orang berfiqih, selapang-lapangnya masih dipandu dengan ilmu.
Waallahu Alam
Komentar
Posting Komentar