Kafa'ah Bukan Syarat Sah Perkawinan



Imam Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan, “Manusia itu kufu antara sesama manusia, Arab dan ‘ajam, Quraisy dan Bani Hasyim, bila mereka telah Islam dan beriman.” 


Sebelum Islam, posisi wanita bisa dikatakan tertindas. Di zaman Arab jahiliah, wanita dianggap sangat rendah apalagi wanita ‘ajam (non-Arab). Sedangkan di zaman Persia (jahiliah), wanita kalangan kekaisaran dianggap sangat mulia sehingga mereka lebih memilih menikah sedarah demi menjaga kemuliaan tersebut.


Ketika Islam datang, semua itu dirubah. Ayat-ayat yang turun mengenai pernikahan tidak menyinggung kafaah nasab, suku atau warna kulit, tapi terkait agama sekaligus akhlak. Sehingga Nabi saw. bersabda, “Bila ada seorang lelaki memuaskan dalam agama dan akhlak, maka terimalah lamaran kawinnya…”


Sejarah juga mencatat beberapa pernikahan yang njomplang berikut: Zaid bin Haritsah (bekas budak Nabi) menikah dengan Zainab binti Jahsy (bangsawan Quraisy); Usamah bin Zaid bin Haritsah (bekas budak) menikah dengan Fatimah binti Qais (bangsawan Quraisy); Bilal (sahabat berkebangsaan Ethiopia) menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf (Quraisy) dll.


Perkawinan dua insan merupakan sunatullah. Hanya saja sebelum masuk ke dunia rumah tangga, keduanya perlu mempertimbangkan masalah kafa'ah (sekufu), semacam kesetaraan atau kesepadanan sejumlah hal di antara keduanya. Ulama dari pelbagai madzhab menetapkan sejumlah kriteria yang berkaitan dengan kafaah meski sebagiannya masih diperselisihkan di kalangan mereka.


Kriteria kafa'ah yang mereka tetapkan adalah soal integritas keagamaan (kesalehan, kezuhudan, ketakwaan), Islam, status merdeka (bukan budak), nasab/manshib, harta/pendapatan, profesi/mata pencarian, dan bersih dari kekurangan yang membolehkannya khiyar dalam perkawinan seperti gangguan jiwa, kusta, lepra.


Perihal status kafaah ini pandangan para ulama setidaknya yaitu Imam At-Tsaury, Imam Hasan Al-Bashri, dan Imam Al-Karkhi, menempatkan kafa'ah di luar syarat sah akad perkawinan dan di luar syarat mengikatnya perkawinan secara mutlak. Bagi kelompok ini, perkawinan pasangan suami-istri yang tidak sekufu tetap sah dan mengikat.


Namun ada juga yang berpendapat, menempatkan kafa'ah sebagai syarat mengikatnya perkawinan, bukan syarat sah akad perkawinan. Konsekuensi hukumnya, akad nikah tetap sah. Sedangkan para wali dari pihak istri dan istri itu sendiri dapat mengajukan hak gugatan fasakh akad. Tetapi jika mereka menggugurkan hak gugatan itu, maka akad perkawinan keduanya mengikat. Pasalnya, bagi ulama kelompok ini, keharmonisan serta kebahagiaan yang menjadi tujuan dari pembinaan rumah tangga dan buah dari perkawinan tidak dapat terwujud pada umumnya tanpa kafa'ah di antara keduanya.


Lalu bagaimana dengan jarak usia yang selisihnya cukup jauh dan status pendidikan yang timpang di antara keduanya?


 هذه هي خصال الكفاءة، أما ما عداها كالجمال والسن والثقافة والبلد والعيوب الأخرى غير المثبتة للخيار في الزواج كالعمى والقطع وتشوه الصورة، فليست معتبرة، فالقبيح كفء للجميل، والكبير كفء للصغير، والجاهل كفء للمثقف أو المتعلم، والقروي كفء للمدني، والمريض كفء للسليم  لكن الأولى مراعاة التقارب بين هذه الأوصاف، وبخاصة السن والثقافة؛ لأن وجودهما أدعى لتحقيق الوفاق والوئام بين الزوجين، وعدمهما يحدث بلبلة واختلافاً مستعصياً، لاختلاف وجهات النظر، وتقديرات الأمور، وتحقيق هدف الزواج، وإسعاد الطرفين 


Artinya, “Semua itu merupakan kriteria kafaah. Selain kriteria yang sudah disebutkan itu, soal kecantikan, usia, pendidikan, domisili, atau kekurangan yang tidak membolehkan khiyar pada perkawinan seperti tunanetra, tunadaksa, atau buruk rupa (jelek) tidak dihitung sebagai kriteria kafaah. Karenanya si buruk rupa dan yang rupawan; yang tua dan yang muda, si bodoh dan mereka yang terdidik atau terpelajar; orang desa dan orang kota; serta orang sakit dan mereka yang sehat, tetap kafaah (sekufu) dalam perkawinan. Tetapi jarak perbedaan semua sifat tadi di antara keduanya sebaiknya tetap berdekatan (tidak terlalu jauh–pen.) terlebih lagi pada masalah usia dan pendidikan (lebih tepatnya keterdidikan–pen.) karena kafaah pada usia dan keterdidikan memicu lebih kuat kehadiran pengertian dan keharmonisan di antara keduanya. Ketiadaan kafaah pada dua masalah ini lazimnya melahirkan kekacauan dan pertikaian tajam karena perbedaan sudut pandang, perselisihan asumsi/penilaian atas sejumlah masalah, perbedaan tujuan perkawinan, dan perbedaan (cara) membahagiakan satu sama lain,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 247-248).


Dari keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa akad perkawinan pasangan yang tidak sekufu sah. Terlebih lagi perbedaan latar belakang yang tidak masuk dalam kriteria kafa'ah seperti soal usia, keterdidikan, domisili, kadar ketampanan-kecantikan, tidak mempengaruhi keabsahan akad nikah keduanya meskipun pautannya cukup jauh.


Waallahu Alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GOBLOGKRASI (Dari Orang Goblok, Oleh Orang Goblog dan Untuk Orang Goblog)

Nasab Wali Songo ke Ba'alwi..?? Kita Buktikan..!!

Inilah 4 Ulama Bergelar Sunan Gunung Jati yang Wajib Diketahui