KH. Lora Zaini Mun'im Al Qudusi Pejuang Dari Pamekasan Madura
Tahun 1906, di Desa Galis Pamekasan Madura, Lora Zaini Mun’im dilahirkan. Lora adalah kata lain dari Gus atau Mas, sebutan kehormatan untuk putera kiai. Beliau merupakan putera pertama dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidah. Lora Zaini memiliki adik bernama KH. Zawawi Mun’im.
Nama kecil Lora Zaini adalah Abdul Mughni. Sejak lahir, masyarakat Galis berharap banyak pada dirinya. Sebab, dalam tubuh beliau mengalir darah bangsawan sekaligus Ulama, yang mempunyai komitmen pada nilai nilai ajaran Islam, baik dari jalur ayahanda maupun dari ibunda. Lebih-lebih, jika diruntut, silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Bindere Sa’ud (Bendoro Saud).
Dari jalur ayahandanya, Lora Mughni adalah putera KH. Abdul Mun’im. Sedang Kiai Abdul Mun’im adalah putera Kiai Mudarik. Adapun Kiai Mudarik sendiri adalah putera ke 4 Kiai Ismail, generasi kedua penerus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan. Kiai Ismail adalah keponakan Kiai Mahalli, Pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning, yang pada tahun 619 M diangkat sebagai anak angkat Kiai Mahalli. Kakek Kiai Ismail adalah Kiai Nuruddin Gunung Tinggi Pakong, yang tidak lain adalah keturunan (dari jalur Kiai Batu Ampar Wetan) Bendoro Saud, alias Temenggung Tirtonegoro, adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur, atau cucu dari Sayyid Ja'far Shadiq atau Sunan Kudus .
Sedang dari jalur ibunda, Lora Mughni adalah keturunan para Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar (Ratoh Sidabulangan), penguasa Kraton Pamekasan Madura. Ibunda Lora Mughni berasal dari Desa Palesanggar, Kecamatan Pegantenan, Pamekasan, Madura. Kehidupan keluarganya terkenal sebagai keluarga santri.
Pada tahun 1937, Lora Abdul Mughni (yang lebih populer dengan nama KH. Zaini Mun’im) kemudian menikah dengan keponakan Kiai Abdul Madjid Banyuanyar, Nyai Nafi’ah. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai enam putera dan satu puteri. Tiga putera beliau lahir di Madura, yaitu: 1) KH. Moh. Hasyim, BA. 2) Drs. KH. Abdul Wahid Zaini, SH. 3) Nyai Hj. Aisyah (kemudian dipersunting oleh KH. Hasan Abdul Wafi). Sedang empat lainnya lahir di Karanganyar Paiton Probolinggo, yaitu: 4) KH. Fadlurrahman, BA. 5) KH. Moh. Zuhri Zaini, BA 6) KH. Abdul Haq Zaini, Lc, dan 7) Drs. KH. Nur Chotim Zaini.
Semangat untuk melawan penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan telah tertanam di dalam diri Kiai Zaini Mun’im. Ini terlihat sejak masa mudanya, terutama setelah beliau pulang dari Makkah (1934). Ketika itu, beliau mulai memperhatikan berbagai persoalan yang melilit kehidupan masyarakat sekitar, sekaligus terlibat langsung dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi, beliau aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Pamekasan. Meski sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis, beliau tidak segan segan ikut terjun langsung menangani berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama tentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di bidang pertanian (tembakau).
Selain itu, beliau juga aktif terlibat sebagai pejuang dalam mempertahankan NKRI, baik pada masa pendudukan Jepang maupun Belanda. Pada masa Jepang, beliau dipercaya sebagai pimpinan Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Beliau pernah dikempe (suatu tanda akan dihukum mati) oleh tentara Jepang, namun akhirnya masih bisa diselamatkan. Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai pimpinan Sabilillah ketika melakukan Serangan Umum 16 Agustus 1947 terhadap bala tentara Belanda yang menguasai Kota Pamekasan.
Kiai Zaini Mun’im semasa hidupnya juga aktif di Nahdlatul Ulama sejak dari Pamekasan Madura. Setelah hijrah dan menetap di Karanganyar Paiton Probolinggo, perjuangan beliau di NU pun terus berlanjut. Sekitar tahun 1951, Kiai Zaini kedatangan tamu istimewa, yaitu KH. Hasan Sepuh Genggong, KH. Abdul Latif dan KH. Fathullah (Pengurus Cabang NU Kraksaan) untuk mengajak agar Kiai Zaini bersedia berjuang dan membina warga melalui PCNU Kraksaan. Ajakan ketiga kiai ini beliau sambut dengan tangan terbuka.
Pada tahun 1953, Rais Syuriah NU Cabang Kraksaan, KH. Abdul Latif meninggal dunia. Sebagai gantinya, Kiai Zaini dipilih dan diangkat menjadi Rais Syuriah PCNU hingga tahun 1975.
Sementara pada Muktamar NU ke 21 di Medan, Sumatera Utara, Desember 1956, Kiai Zaini terpilih sebagai salah satu anggota dewan Partai NU dari 79 orang yang terpilih. Sejak menjadi anggota dewan Partai NU, keterlibatan beliau di bidang politik nasional mulai menonjol. Selanjutnya, pada tahun 1960, Kiai Zaini terpilih sebagai Wakil Rais Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.
Sebagai tokoh NU, Kiai Zaini enggan jika ummat dikotak-kotakkan atau dibeda-bedakan. Bahkan, beliau marah jika perselisihan yang ada antara NU dan Muhammadiyah itu terus dipertajam. Beliau lebih suka mencari persamaannya daripada mempertajam perbedaaannya, meski beliau mengakui jika di antara keduanya tetap ada perbedaan.
Selama berjuang di NU, Kiai Zaini tidak hanya memikirkan masalah agama, tapi juga memikirkan masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Menurut Kiai Zaini, bagaimana umat Islam merasa dirinya sebagai pejuang Islam. Pendapat ini tercermin dari fatwa yang pernah beliau katakan: “Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah ekonominya saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak, bagaimana agar hukum hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dapat berlaku di bumi Indonesia.”
Waallahu Alam
Copas dan share sebanyak-banyaknya.....
Komentar
Posting Komentar